Kamis, 08 Maret 2012

SEJARAH MUSIK UNDERGROUND DI INDONESIA

Mereka inilah generasi pertama rocker Indonesia. Istilah underground sendiri sebenarnya sudah digunakan Majalah Aktuil sejak awal era 70an. Istilah tersebut digunakan majalah musik dan gaya hidup pionir asal Bandung itu untuk mengidentifikasi band-band yang memainkan musik keras dengan gaya yang lebih liar dan exstrem untuk ukuran zamannya. Padahal kalau mau jujur, lagu2x yang dimainkan band- band tersebut di atas bukanlah lagu karya mereka sendiri, melainkan milik band-band luar negeri macam Deep Purple, Jefferson Airplane, Black Sabbath, Genesis, Led Zeppelin, Kansas, Rolling Stones hingga ELP. Tradisi yang kontraproduktif ini kemudian mencatat sejarah namanya sempat mengharum di pentas nasional. Sebut saja misalnya El Pamas, Grass Rock (Malang) , Power Metal (Surabaya), Adi Metal Rock (Solo), Val Halla (Medan) hingga Roxx (Jakarta)
. Selain itu Log jugalah yang membidani lahirnya label rekaman rock yang pertama di Indonesia, Logiss Records. Produk pertama label ini adalah album ketiga God Bless, “Semut Hitam” yang
dirilis tahun 1988 dan ludes hingga 400.000 kaset di seluruh Indonesia. Menjelang akhir era 80-an, di seluruh dunia waktu itu anak- anak muda sedang mengalami demam usik thrash metal.
Sebuah perkembangan style musik metal yang lebih ekstrem lagi dibandingkan heavy metal. Band2x yang menjadi gods-nya antara lain Slayer, Metallica, Exodus, Megadeth, Kreator, Sodom, Anthrax hingga Sepultura. Kebanyakan kota2x besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Jogjakarta, Surabaya, Malang hingga Bali, scene undergroundnya pertama kali lahir dari genre musik ekstrem tersebut. 1xxxBANDUNG UNDERGROUND Di Bandung sekitar awal 1994 terdapat studio musik legendaris yang menjadi cikal bakal scene rock underground di sana. Namanya Studio Reverse yang terletak di daerah Sukasenang. Pembentukan studio ini igagas oleh Richard Mutter (saat itu drummer PAS) dan Helvi. Ketika semakin berkembang Reverse lantas melebarkan sayap bisnisnya dengan membuka distro(akronim dari distribution)
yang menjual CD, kaset, poster, t-shirt, serta berbagai
aksesoris import lainnya. Selain distro, Richard juga sempat membentuk label independen 40.1.24 yang rilisan pertamanya di tahun 1997 adalah kompilasi CD yang bertitel “Masaindahbangetsekalipisan .” Band-band indie yang ikut
serta di kompilasi ini antara lain adalah Burger Kill, Puppen, Papi, Rotten To The Core, Full of Hate dan Waiting Room, sebagai satu-satunya band asal Jakarta. Band-band yang sempat dibesarkan oleh komunitas
Reverse ini antara lain PAS dan Puppen. PAS sendiri di tahun 1993 menorehkan sejarah sebagai band Indonesia yang pertama kali merilis album secara independen. Mini album
mereka yang bertitel “Four Through The S.A.P” ludes terjual 5000 kaset dalam waktu yang cukup singkat. Mastermind yang melahirkan
ide merilis album PAS secara independen tersebut adalah
(alm) Samuel Marudut. Ia adalah Music Director Radio GMR, sebuah stasiun radio rock pertama di Indonesia yang kerap memutar demo-demo rekaman band-band rock amatir asal Bandung,Jakarta dan sekitarnya. Tragisnya, di awal 1995Marudut ditemukan tewas tak
bernyawa di kediaman Krisna Sucker Head di Jakarta. Yang
mengejutkan, kematiannya ini, menurut Krisna, diiringi lagu The End dari album Best of The Doors yang diputarnya pada tape di kamar Krisna. Sementara itu Puppen yang dibentuk pada tahun 1992 adalah salah satu pionir hardcore lokal yang hingga akhir hayatnya di tahun 2002 sempat merilis tiga album yaitu, Not A Pup E.P. (1995), MK II (199cool dan Puppen s/t(2000). Kemudian menyusul Pure Saturday denganalbumnya yang self-titled.
Album ini kemudian dibantu promosinya oleh Majalah Hai.
Kubik juga mengalami hal yang sama, dengan cara bonus kaset 3 lagu sebelum rilis albumnya. Agak ke timur, masih di Bandung juga, kita akan menemukan sebuah komunitas yang menjadi episentrum underground metal di sana, komunitas Ujung Berung. Dulunya di daerah ini sempat berdiri Studio Palapa yang banyak
berjasa membesarkan band-band underground cadas macam Jasad, Forgotten, Sacrilegious, Sonic Torment, Morbus Corpse, Tympanic Membrane, Infamy, Burger Kill dan sebagainya. Di sinilah kemudian pada awal 1995 terbit fanzine musik pertama di Indonesia yang bernama Revograms Zine. Editornya Dinan, adalah vokalis band
Sonic Torment yang memiliki single unik berjudul “Golok Berbicara”. Revograms Zine tercatat sempat tiga kali terbit dan kesemua materi isinya membahas band-band metal/hardcore lokal maupun internasional. Kemudian taklama kemudian fanzine indie seperti Swirl, Tigabelas, Membakar Batas dan yang lainnya ikut meramaikan media indie.
Ripple dan Trolley muncul sebagai majalah yang
membahas kecenderungan
subkultur Bandung dan juga
lifestylenya. Trolley bangkrut
tahun 2002, sementara Ripple
berubah dari pocket magazine ke format majalah
standar. Sementara fanzine
yang umumnya fotokopian
hingga kini masih terus eksis. Serunya di Bandung tak
hanya musik ekstrim yang
maju tapi juga scene indie
popnya. Sejak Pure Saturday
muncul, berbagai band indie
pop atau alternatif, seperti Cherry Bombshell, Sieve, Nasi
Putih hingga yang terkini
seperti The Milo, Mocca,
omogenic. Begitu pula scene
ska yang sebenarnya sudah
ada jauh sebelum trend ska besar. Band seperti Noin
Bullet dan Agent Skins sudah
lama mengusung genre musik
ini. Siapapun yang pernah
menyaksikan konser rock
underground di Bandung
pasti takkan melupakan GOR
Saparua yang terkenal hingga
ke berbagai pelosok tanah air. Bagi band-band indie, venue
ini laksana gedung keramat
yang penuh daya magis. Band
luar Bandung manapun kalau
belum di baptis di sini belum
afdhal rasanya. Artefak subkultur bawah tanah
Bandung paling legendaris ini
adalah saksi bisu digelarnya
beberapa rock show
fenomenal seperti Hullabaloo,
Bandung Berisik hingga Bandung Underground.
Jumlah penonton setiap
acara-acara di atas
tergolong spektakuler, antara
5000 – 7000 penonton! Tiket
masuknya saja sampai diperjualbelikan dengan
harga fantastis segala oleh
para calo. Mungkin ini
merupakan rekor tersendiri
yang belum terpecahkan
hingga saat ini di Indonesia untuk ukuran rock show
underground. Sempat dijuluki sebagai
barometer rock underground
di Indonesia, Bandung
memang merupakan kota
yang menawarkan sejuta
gagasan-gagasan cerdas bagi kemajuan scene
nasional. Booming distro
yang melanda seluruh
Indonesia saat ini juga
dipelopori oleh kota ini.
Keberhasilan menjual album indie hingga puluhan ribu
keping yang dialami band
Mocca juga berawal dari kota
ini. bahkan Burger Kill, band
hardcore Indonesia yang
pertama kali teken kontrak dengan major label, Sony
Music Indonesia, juga
dibesarkan di kota ini. Belum
lagi majalah Trolley (RIP) dan
Ripple yang seakan menjadi
reinkarnasi Aktuil di zaman sekarang, tetap loyal
memberikan porsi terbesar
liputannya bagi band-band
indie lokal keren macam Koil,
Kubik, Balcony, The Bahamas,
Blind To See, Rocket Rockers, The Milo, Teenage Death Star,
Komunal hingga The S.I.G.I.T.
Coba cek webzine Bandung,
Death Rock Star
(www.deathrockstar.tk)
untuk membuktikannya. Asli, kota yang satu ini memang
nggak ada matinya. 2xxxUNDERGROUND VS
IDEALISME Kata underground periode
tahun 90-04 sempat naik
daun, dan jadi basis sayap
kiri bagi kalangan musisi
independen. Di Bandung basis
kelompok musisi indie, kata underground diterjemahkan
sebagai bawah tanah, dengan
arti khusus kebebasan buat
berkarya.
“Kami menyebut underground
sebagai spirit bermusiknya. Di Bandung underground nggak
ada yang istilah paling hebat.
Jadi, semua bersaing. Semua
memiliki kubu dan massa
masing-masing. Beda dengan
di Jakarta, dulu ada satu grup yang menjadi pimpinan
underground. Di Sukabumi
juga begitu, kata salah satu
penyiar Radio MGT FM
Bandung. Karena kata
underground sering diartikan salah kaprah, maka bagi
sebagian musisi, kata
underground diartikan
sebagai band-band pembawa
lagu-lagu keras, “wah yang
ngomomg kayanya blom lulus buat jadi musisi nih” tapi
buat banyak musisi lainnya,
underground bisa diisi segala
macam jenis musik, selama
mereka belum masuk pada
major label. Banyak band2x yang
sekarang bernaung di major
label, background aslinya
adalah band indie juga. toh
buat mereka ga ada masalah
dengan penggemar panatik mereka ketika masih band
indie, apa yang dicapainya
sekarang adalah titik
kesuksesan berkarir, soalnya
kita sedang di dalam ruang
lingkup rezeki kalau memang kita bisa masuk ke major label
knapa ngga kita manfaatin
semaksimal mungkin bukan
berarti indie label ngga
ngejanjiin masa depan yang
bagus. ini tinggal soal peluang yang harus atau
ngga diambil sama sekali. Aliran musik dalam
underground bisa sangat
beragam, mau yang load
voice, midlle voice sampai
yang kalem pun itu bisa, yang
penting semangat dalam pembawaan nya aja yang
jangan di lupain. soalnya
semangat / spirit ini lah yang
paling penting
“UNDERGROUND SPIRIT”. ambil
contoh, ketika kita mendengarkan beberapa
buah lagu : return of zelda-
system of a down, enter
sandman-metallica dan
american idiot-green day.
Yang kita tahu ke tiga lagu tsb sama2x load voice,
sama2x dimainkan dengan
peralatan musik yang ga jauh
beda jenisnya, tapi kalo kita
telisik lebih dalam pasti ada
banyak perbedaan yang mencolok dari ke tiga nya,
apalagi kalo bukan
pembawaan ama spiritnya.
Hal ini juga lah yang dapat
membedakan jenis musik dan
aliran apa yang mereka mainkan. Begitu pula dengan
undergound, klo selalu di
deskripsikan dengan musik
yang keras, tentunya itu
salah besar. Namun memang underground
lebih dekat dengan jenis
musik metal. Jenis musik ini
memang jauh dari incaran
perusahaan rekaman besar
yang, yang biasa disebut major label. Bahkan ada
pendapat agak ekstrem,
“Kalau band indie masuk
major label, pasti konsep
bermusiknya jadi beda,
karena harus disesuaikan dengan pasar, dan tak dapat
beridealis ria lagi. Pendapat inilah yang ditolak
oleh Beng-Beng, Jun Fan Gung Foo dan Noin Bullet dari Bandung. Noin Bullet yang
memainkan musik ska-core, awalnya memang indie label,
namun kini masuk lingkaran
major label Warner Music
Indonesia. “ Tapi musik kami
tak berubah. Semua lagu yang
kami jual dengan indie label, langsung diedarkan lagi oleh
Warner, dengan label Warner
Music Indonesia. Tanpa
berubah, tanpa didikte
siapapun, “ kata Chairul,
gitaris Noin Bullet. Bersama Beng-Beng, ia curiga, jangan-
jangan anak-anak indiebanyak iri, karena Pas, Noin
Bullet dan beberapa band indie lainnya bisa masuk
major label, sementara mereka belum. http:// www.newsmusik.net/ Ngomong2x soal idealisme,
sebagian besar band2x indie mengusungnya baik dalam
karya lagu, pementasan bahkan ada yang membawa idealisme tersebut dalam kehidupannya sehari – hari.
Macam2x jenis idealisme yang di usung band2 indie tsb, diantaranya : Idealis terhadap
isu anti kemapanan, Idealis terhadap isu anti major label, Idealis terhadap isu sosial, politik dan ekonomi bahkan ada yang lebih extrem yaitu Idealis dengan atheisme atau tidak percaya terhadap adanya Tuhan. Cuman untuk point yang ke empat ini kita akan sangat sulit untuk menjumpainya. Banyak band-band indie yang sejak awal sudah idealis salah satunya alergi sama major label, dan tak mau menawarkan lagu2x karyanya ke sana. Padahal banyak contoh menarik tentang band-band indie yang masuk major label, seperti Netral, Pas, Jun Fan Gung Foo dan Sucker Head. Berikut adalah sebagian kecil band2x indie asli made in bandung yang mungkin dapat gw inget, yang eksistensinya masih dapat kita jumpai : Jack and the four man, Koil, Polyester embassy, The tomato, Rocket rocker, Alone at last, Closehead, Mobil derek, Disconnected, The s.i.g.i.t, Mocca, Tcukimay, Pure saturday, A stone A, Retrieval,
Restless, Hellgods, Jeruji, Laluna, Maymelian, Burgerkill, Bak sampah dll Akhirnya, dalam keluarga underground alias independen itu, ada jenis musik yang beragam : industrial-techno,hardcore, brutal death metal,punk, hardrock, ska, alternative, black metal dan lainnya. 3xxxUNDERGROUND VS INDIE Indie Indonesia Era 2000-an Bagaimana pergerakan scene
musik independen Indonesia era 2000-an? Kehadiran teknologi internet dan e-mail jelas memberikan kontribusi besar bagi perkembangan scene ini.
Akses informasi dan komunikasi yang terbuka lebar membuat jaringan(networking) antar komunitas
ini semakin luas di Indonesia.
Band-band dan komunitas-komunitas baru banyak bermunculan dengan menawarkan style musik yang lebih beragam. Trend indie label berlomba-lomba merilis album band-band lokal juga menggembirakan, minimal ini adalah upaya pendokumentasian sejarah yang berguna puluhan tahun ke depan. Yang menarik sekarang adalah dominasi penggunaan idiom indie dan bukan underground untuk mendefinisikan sebuah scene musik non-mainstream lokal.
Sempat terjadi polemik dan perdebatan klasikmengenai istilah indie atau underground ini di tanah air. Sebagian orang memandang istilah underground semakin bias karena kenyataannya kian hari semakin banyak band-band underground yang sell-out, entah itu dikontrak major label,mengubah style musik demi kepentingan bisnis atau laris manis menjual album hingga puluhan ribu keping.
Sementara sebagian lagi lebih senang menggunakan idiom
indie karena lebih elastis dan misalnya, lebih friendly bagi band-band yang memang tidak memainkan style musik ekstrem. Walaupun terkesan lebih kompromis, istilah indie
ini belakangan juga semakin sering digunakan oleh media massa nasional, jauh meninggalkan istilah ortodoks `underground’ itu tadi. Ditengah serunya perdebatan
indie/underground, major label atau indie label, ratusan band baru terlahir, puluhan indie label ramai- ramai merilis album, ribuan distro/ clothing shop dibuka di
seluruh Indonesia.
Infrastruktur scene musik non-mainstream ini pun kian established dari hari ke hari.
Mereka seakan tidak peduli lagi dengan polarisasi indie-
major label yang makin tidak substansial. Bermain musik sebebas mungkin sembari bersenang-senang lebih menjadi panglima sekarang ini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar